Selasa, 17 November 2009

Menari di Tengah Hujan

pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 9:30 seorang berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada ibu jarinya. Aku menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter masik sibuk, mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi. Sewaktu menunggu, pria itu nampak gelisah, sebentar-sebentar melirik ke jam tangannya. Aku merasa kasihan. Jadi ketika sedang luang aku semapatkan untuk memeriksa lukanya, dan nampaknya cukup baik dan kering tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yg tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, aku putuskan untuk melakukannya sendiri.

Sambil menangani lukanya, aku bertanya apakah dia punya janji lain hingga tampak terburu-buru. Lelaki tua itu menjawab tidak, dia hendak kerumah jompo untuk makan siang bersama istrinya, seperti yg dilakukannya sehari-hari. Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat disana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap Alzaimer. lalu aku bertanya apakah istrinya akan marah kalau ia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 tahun terakhir.

Aku sangat terkejut dan berkata, " dan bapak masi pergi kesana setiap hari walaupun istri Bapak tidak kenal lagi?" Dia tersenyum ketika tangannya menepuk tanganku sambil berkata "Dia memang tidak mengenali saya, tetapi saya masih mengenai dia, kan?" aku terus menahan air mata sampai kakek itu pergi, tanganku masih tetap merinding, cinta kasih seperti itulah yg aku mau dalam hidupku.

Cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah menerima apa adanya yg terjadi. saat ini, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang tak pernah terjadi. Bagiku pengalaman ini menyampaikan satu pesan penting:
" Orang yang paling berbahagia tidak harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, mereka hanya berbuat yg terbaik dengan apa yg mereka miliki. Hidup bukanlah perjuangan menghadapi badai, tetapi bagaimana tetao menari di tengah hujan"